Memahami Tawheed: Sebuah Kajian Awal
1. Pendahuluan
Tawhid dikenal dan diakui sebagai hal yang paling penting dan paling mendasar posisinya dalam Islam. Kedudukannya paling urgen untuk diketahui dan diamalkan, serta paling berperan dalam kehidupan seorang muslim. Kesepakatan akan tawhid ini adalah kesepakatan yang syar`i yang wajib diketahui dasar hukumnya dan mandub untuk dipelajari rincian dan fadhilah-fadhilahnya.
Diantara kaum muslimin muncul berbagai pemahaman dan pemikiran berkaitan dengan tawhid. Oleh karena itu, menjadi penting bagi kita untuk mengetahui hal-hal tersebut. Makalah ini akan mengulas persoalan-persoalan paling mendasar yang sederhana, tapi kurang mendapat perhatian oleh kebanyakan muslimin.
2. Definisi Istilah Tawhid
Tawhid dalam bahasa Arab adalah mashdar dari kata kerja wahhada (وَحَّدَ) yang berarti salah satu dari dua arti:
1. Mengumpulkan berbagai hal yang terpisah dan terpecah belah menjadi bersatu. Seperti apabila ada pemimpin fulan datang pada kabilah-kabilah yang terpecah belah dan bermusuhan terus ia menyatukan mereka semua sehingga bersatu. Ini disebut tawhid.
2. Mengetahui sesuatu yang satu atau kesatuan atau keesaan sesuatu dan mengakuinya. Wahhadtu Allaha tawhiidan (وَحَّدْتُ اللهَ تَوْحِيدًا) artinya mengetahui bahwasanya Dia itu satu dan saya mengakuinya.
Sedangkan tawhid yang dimaksud dalam makalah ini adalah tawhid yang maknanya tersebar dibanyak kitab turats, aqidah, fiqh dan banyak tempat dalam khasanah keilmuan Islam. Makna tawhid inilah yang diajarkan oleh para ulama dan didakwahkan oleh kaum muslim.
Tawhid adalah mengesakan Allah dengan beribadah hanya kepada-Nya semata. Ibadah merupakan tujuan penciptaan alam semesta ini.
3. Dalil-dalil Disyariatkannya Istilah Tawhid
QS. Al-Israa’ [17]: 46
وَإِذَا ذَكَرْتَ رَبَّكَ فِي الْقُرْآَنِ وَحْدَهُ وَلَّوْا عَلَى أَدْبَارِهِمْ نُفُورًا
“Dan apabila kamu menyebut Tuhanmu saja dalam Al Quran, niscaya mereka berpaling ke belakang karena bencinya.”
QS. Az-Zumar [39]: 45
وَإِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَحْدَهُ اشْمَأَزَّتْ قُلُوبُ الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِالْآَخِرَةِ وَإِذَا ذُكِرَ الَّذِينَ مِنْ دُونِهِ إِذَا هُمْ يَسْتَبْشِرُونَ
“Dan apabila hanya nama Allah saja disebut, kesallah hati orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat; dan apabila nama sembahan-sembahan selain Allah yang disebut, tiba-tiba mereka bergirang hati.”
QS. Ghaafir [40]: 12
ذَلِكُمْ بِأَنَّهُ إِذَا دُعِيَ اللَّهُ وَحْدَهُ كَفَرْتُمْ وَإِنْ يُشْرَكْ بِهِ تُؤْمِنُوا فَالْحُكْمُ لِلَّهِ الْعَلِيِّ الْكَبِيرِ
“Yang demikian itu adalah karena kamu kafir apabila Allah saja disembah. Dan kamu percaya apabila Allah dipersekutukan. Maka putusan (sekarang ini) adalah pada Allah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar.”
Ibnu Abbas RA meriwayatkan, bahwasanya ketika Rasulullah SAW mengutus Mu’adz RA ke Yaman, beliau bersabda kepadanya,
إِنَّكَ تَقْدَمُ عَلَى قَوْمٍ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ فَلْيَكُنْ أَوَّلَ مَا تَدْعُوهُمْ إِلَى أَنْ يُوَحِّدُوا اللَّهَ تَعَالَى
“Sesungguhnya engkau akan mendatangi suatu kaum dari Ahli Kitab, maka jadikan yang pertama kali kamu dakwahkan adalah agar mereka mentawhidkan Allah Ta'ala.” (HSR (Hadits Shahih Riwayat) Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Nasai, Abu Daud, Ibnu Majah, Ahmad dan lainnya dengan redaksi dari riwayat Bukhari).
Thariq bin Asy-yam RA berkata, Aku pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda,
مَنْ وَحَّدَ اللَّهَ وَكَفَرَ بِمَا يُعْبَدُ مِنْ دُونِهِ حَرُمَ مَالُهُ وَدَمُهُ وَحِسَابُهُ عَلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ
“Barang siapa yang mentawhidkan Allah, kafir dengan apa yang diibadahi selain-Nya, maka harta dan darahnya haram serta perhitungannya atas Allah ‘Azza wa Jalla.” (HSR. Muslim dan Ahmad)
Ibnu Umar RA meriwayatkan, Nabi SAW bersabda,
بُنِىَ اْلإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ عَلَى أَنْ يُوَحَّدَ اللَّهُ ، وَإِقَامِ الصَّلاَةِ ، وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ ، وَصِيَامِ رَمَضَانَ ، وَالْحَجِّ
“Islam dibangun di atas lima hal: mentawhidkan Allah, menegakkan shalat, membayar zakat, puasa di bulan Ramadhan dan haji.” (HSR. Muslim)
Dalam hadits shahih yang panjang, Jabir bin Abdullah RA meriwayatkan hadits dalam konteks haji wada’ (perpisahan),
فَأَهَلَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالتَّوْحِيدِ
“Rasulullah SAW mengumandangkan lafal tawhid (yakni membaca bacaan talbiyah).” (HR. Muslim, Abu Daud, Ibnu Majah, Ahmad, ‘Abd bin Humaid dan lainnya).
Nash-nash di atas menjadi bukti meyakinkan bahwa istilah tawhid adalah ismun syar’i yang wajib dijaga istilah dan maknanya, serta diberlakukan sesuai dengan ketentuan-ketentuan syar’i. Sebab istilah tawhid termasuk kedalam ismul iman, yang kaum muslimin tidak boleh salah didalamnya. Shaikh al-Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Salah dalam ismul iman tidak sama seperti salah dalam hal lainnya (ismul muhdath)”. Kesalahan dalam hal ini akan mengakibatkan tumpahnya darah orang yang haram, dan kerenggutnya kehormatan yang tidak semestinya.
Tawhid sebagai istilah syar’i mewakili dua kalimat syahadat. Sehingga ucapan: “mentawhidkan Allah” sama maksudnya dengan ucapan: “syahadat laa ilaaha illallaah dan Muhammad Rasulullah. Sedangkan istilah-istilah yang ada dan dikenal dalam disiplin ilmu tawhid termasuk ismul muhdath yang digunakan oleh ulama untuk menjelaskan rincian dan cakupan makna kalimat syahadatain. Istilah-istilah ini adalah perkara ijtihadiyah.
4. Pembagian Tawhid
Makna pembagian tawhid dalam makalah ini adalah perincian jenis atau macam yang mencakup tawhid, sedangkan dari setiap macam tersebut ada cabang-cabangnya.
Makalah ini akan memaparkan beberapa metode pembagian tawhid yang beredar di kalangan kaum muslimin. Diantaranya adalah metode Shaikh al-Islam Ibnu Taimiyah dan muridnya Ibnul Qayyim serta beberapa metode lainnya. Perlu menjadi perhatian, bahwa dalam khasanah Islam dikenal 2 uslub dalam membentuk sebuah konsep: had (definitif) dan rasm (deskriptif). Penggunaan uslub tersebut untuk memahamkan suatu entitas, bukan untuk mengunggulkan salahsatu uslub diantara yang lainnya. Namun, yang terbaik diantara penggunaan uslub-uslub tersebut adalah yang mengandung pernyataan jami’ (komprehensif) dan mani’ (protektif).
4.1. Model Ibnu Taimiyah
Model ini, atau disebut juga sebagai ”tawhid yang tiga” adalah model yang paling banyak dikaji dikalangan Ahli Hadith kontemporer, dan para ulama yang lahir dari madrasah dakwah Najdiyyah. Metode ini muncul setelah sekitar 20 generasi di akhir-akhir abad ke 7 Hijriyah dan diperkenalkan kembali pada abad ke 12 Hijriyah oleh Imam al-Mujaddid Muhammad bin Abdul Wahab at-Tamimi. Metode ini merupakan hasil ijtihad Shaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah untuk menjawab berbagai masalah yang dihadapinya pada masanya.
Ibnu Taimiyah membagi tawhid menjadi: tawhid rububiyah, tawhid uluhiyah, dan tawhid asma wa shifat. Penjelasan tentang rincian tawhid ini bisa didapatkan di kitab-kitab para ulama Dawlah Su’udiyah dari kalangan ulama pemerintahan dan selain mereka. Mafahim tawhid ini dapat dipahami sebagai berikut:
- Tawhid rububiyah adalah tawhid yang pertama mencakup masalah penciptaan, pengaturan alam, pembentukan, dan pengajaran. Tawhid ini dimiliki oleh kaum musyrikin, namun hal itu tidak membuat darah dan harta mereka menjadi haram. Mereka tetap diperangi karena tidak memiliki tawhid uluhiyah.
- Tawhid rububiyah adalah bukti wajibnya (dalil) tawhid uluhiyah.
- Tawhid rububiyah berkaitan dengan perbuatan Allah. Terkadang hal ini dilekatkan kepada masalah i`tiqad.
- Tawhid uluhiyah adalah tawhid yang merupakan tujuan diutusnya Anbiya dan Rusul. Tawhid ini yang didakwahkan oleh rasulullah kepada orang Arab Mekah pertama kali, dan mereka dituntut untuk menerima dan memiliki tawhid ini agar menjadi muslim (yang darah dan hartanya haram).
- Tawhid uluhiyah mencakup masalah berdo’a semata-mata hanya kepada Allah, mengambil hukum dari al-Quran dan tunduk kepada syariat Allah. Tawhid ini yang mereka ingkari dan menjadi sebab perseteruan dan pertentangan antara umat-umat terdahulu dengan para rasul.
- Tawhid uluhiyah adalah mengesakan hak Allah - Rabb yang menciptakan mereka – dengan segala perbuatan yang disebut ibadah. Terkadang hal ini dilekatkan kepada seluruh masalah amal (perbuatan).
- Tawhid asma wa shifat adalah mengesakan Allah dalam nama dan sifat-Nya, sesuai dengan apa yang ditetapkan dalam nash wahyu tanpa ta`wil, tahrif, takyif, ta`thil, tamsil, tafwidh.
Model pembagiaan ini, berdasarkan penelitian penulis hingga saat ini, tidak memiliki landasan pembagian yang jelas sebagaimana yang dikenal dalam ilmu al-jam’u. Sehingga ada banyak aspek tawhid yang tidak bisa masuk kedalamnya, seperti: Al-Wala’ wal-Bara’, al-Ittiba`, dll. Padahal Shaikhul Islam sudah dikenal sebagai seorang Ahli dibidang manhaj jami’-mani’.
Beberapa kerancuan model pembagian ini pun nampak ketika muncul wacana tentang al-Hakimiyah. Sebagian berpendapat ia tidak bisa dianggap sebagai jenis/macam pembagian tawhid, lalu diantara mereka ada yang memasukan al-Hakimiyah kedalam tawhid rububiyah, sebagai memasukannya kedalam tawhid uluhiyah, atau kepada keduannya sekaligus.
4.2. Model Ibnul Qayyim al-Jauziyah
Model ini, yang disebut juga dengan “tawhid yang dua” tidak beredar luas dikalangan thalabul ilmi jika dibandingkan dengan metode sebelumnya. Imam Ibnul Qayyim tidak mengikuti metode pembagian Shaikul Islam Ibnu Taimiyah. Padahal sebagaimana sudah dikenal pengagungan Ibnul Qayyim terhadap gurunya, pembelaan dan penjelasan beliau tentang mazhab Shaikul Islam. Akan tetapi dalam hal pembagian tawhid ini, beliau tidak mengikuti, mengagungkan, menjelaskan dan membela pendapat Shaikhul Islam. Imam Ibnul Qayyim seolah merasa tidak nyaman dengan metode pembagian gurunya sehingga ia menggunakan pembagian “tawhid yang dua” yang lebih jelas batasannya, yaitu tawhidul ‘ilm wal ma`rifah wal i’tiqad dan tawhidul qashd wal iradah wat thalab.
Model “tawhid yang dua”, ini menurut hemat penulis adalah metode yang terbaik karena mencakup (jam`i) selurh perkara jenis/macam tawhid, serta menghalangi (mani`) perkara furu`dari cakupan ushul pembagiannya. Model pembagian ini juga berkesesuaian dengan mazhab ulama Ahlussunnah dalam masalah definisi “iman yang dua”.
4.3. Model Lain
Model lainnya yang penulis ketahui adalah model pembagian yang banyak dipahami dikalangan muharrik dan mujahidin Negara Islam Indonesia. Mereka menganut tawhid rububiyah, tawhid mulkiyah, dan tawhid uluhiyah. Pembagian ini, konon berdasarkan ayat-ayat dari surah an-Naas. Jika ini benar, maka pembagian ini tidak jami’ karena tidak memperhatikan banyak nash wahyu yang berbicara tentang macam/ jenis tawhid lainnya. Namun penulis belum mendapatkan teks maraji’ yang pasti mengenai hal ini. Bolehjadi munculnya tawhid mulkiyah hanya merupakan respon terhadap kondisi pada waktu itu (masa kemerdekaan pasca keruntuhan Dawlah Utsmaniyah), karena rumusannya masih sering rancu dengan pembahasan tawhid rububiyah.
Ada juga model pembagian tawhidullah dan tawhidurrasul war-risalah (al-ittiba’) yang diambil dari kalimat syahadatain. Pembagian ini termasuk pembagian yang baik, karena didasarkan pada kalimat paling asasi yang mencakup seluruh konsep tawhid.
4.4 Masail Hakimiyah
Kemudian belakangan ini ada yang berupaya merumuskan konsepsi tawhid hakimiyah (al-hakimiyyah) dan menjadikannya. Al-Hakimiyyah ini banyak dikenal dikalangan mujahidin kontemporer. Sedangkan mereka bingung dalam memosisikan tawhid hakimiyah. Lajnah Ilmiyah HASMI menempatkan al-Hakimiyah sebagai cabang dari tawhid uluhiyah bersama dengan an-Nusuk dan al-Wala` wal-Bara`.
Kelompok Studi Islam Al-Ummah memosisikan Al-Hakimiyah ini sebagai “tawhid amali” yang pengertiannya dekat dengan tawhidul qashd wal iradah wat thalab. Sementara sebagian ulama Kerajaan Saudi dikenal menolak al-Hakimiyah dan menganggap al-hakimiyah sebagai bid`ah yang diada-adakan oleh kelompok khawarij kontemporer.
5. Khatimah
Banyak dan beragamnya model pembagian tawhid adalah bagian dari upaya/ ijtihad para ulama untuk menjelaskan hakikat inti ajaran Islam. Oleh karena itu, perlu dipahami bahwa dalam ijtihad itu diperkenankan adanya perbedaan dan dibenarkan adanya kesalahan. Ijtihad yang benar insya Allah akan mendapatkan balasan 2 kebaikan, sedangkan ijtihad yang salah akan tetap mendapatkan kebaikan dari sisi ikhtiyar (usaha mencari al-khayr). Ketergelinciran dan kesalahan ulama bagi kita adalah aib dan aurat sehingga perlu dijaga dan diluruskan agar kesalahan ini tidak menjadi tradisi yang pakem dalam khasanah keilmuan kita.
Perlu diingat juga bahwa tawhid adalah bagian terpenting dan paling mendasar dari dinul Islam. Akan tetapi model-model pembagiannya adalah perkara ijtihadiyah dan penamaan-penamaan dari bagian-bagiannya adalah termasuk ismul muhdats. Sehingga kita tidak boleh salah memahami mana yang ushul dan mana yang uslub (furu`).
[1] Peneliti Gerakan dan Pemikiran Islam.
[2] Shaikh Abu Majid, Kitab Tawhid: Ashul Islam wa Haqiqat at-Tawhid
[3] Shaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan, Kitab Tauhid jilid 1:
[4] Shaikh Muhammad Jamil Zainu, Jalan Golongan yang Selamat : 18
[1] Peneliti Gerakan dan Pemikiran Islam.
[2] Shaikh Abu Majid, Kitab Tawhid: Ashul Islam wa Haqiqat at-Tawhid
[3] Shaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan, Kitab Tauhid jilid 1:
[4] Shaikh Muhammad Jamil Zainu, Jalan Golongan yang Selamat : 18
[5] Untuk lebih jelas dan rinci dalam masalah al-Asma wal-Shifat ini, silahkan merujuk ke kitab-kitab ulama Kerajaan Arab Saudi. Di negeri kita, mazhab mereka mendominasi kitab-kitab terjemahan tentang aqidah.
[6] Periksa fatwa anggota Hai`ah Kibarul Ulama Mamlakah Su`udiyah tentang hal ini: Shaikh Suhaib Hasan dan Shaikh Ibnu Utsaimin.
[7] Periksa fatwa Haiah Kibarul Ulama Dawlah Su’udiyah tentang hal ini
[8] Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Shaikh Abu Majid al-Mas’ariy dalam Kitab Tawhid: Ashlul Islam wa Haqiqatu al-Tawhid yang mendukung, menguatkan dan menjelaskan mazhab Imam Ibnul Qayyim dalam hal ini. Shaikh Abu Majid menjelaskan kesalahan metode tawhid yang tiga karena menjadikan al-Asma` was-Shifat sebagai bagian/jenis tersendiri. Padahal menurut beliau, banyak hal dari penjelasan al-Asma was-Shifat termasuk kedalam persoalan cabang (furu`). Banyaknya kesalahan para Imam Ahlussunnah dalam perkara ini adalah bukti yang menunjukan hal tersebut. Bahkan jika kita memperhatikan ketergelinciran Imam Abu Hanifah, Imam Nawawi asy-Syafi`i dan kebanyakan ulama pada masa mihnah di zaman Imam Ahmad bin Hanbal, bolehjadi masalah ini adalah masa`il khafiyah (perkara yang samar/ tersembunyi).
[9] Yaitu bahwa Iman itu adalah perkataan dan perbuatan.
[6] Periksa fatwa anggota Hai`ah Kibarul Ulama Mamlakah Su`udiyah tentang hal ini: Shaikh Suhaib Hasan dan Shaikh Ibnu Utsaimin.
[7] Periksa fatwa Haiah Kibarul Ulama Dawlah Su’udiyah tentang hal ini
[8] Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Shaikh Abu Majid al-Mas’ariy dalam Kitab Tawhid: Ashlul Islam wa Haqiqatu al-Tawhid yang mendukung, menguatkan dan menjelaskan mazhab Imam Ibnul Qayyim dalam hal ini. Shaikh Abu Majid menjelaskan kesalahan metode tawhid yang tiga karena menjadikan al-Asma` was-Shifat sebagai bagian/jenis tersendiri. Padahal menurut beliau, banyak hal dari penjelasan al-Asma was-Shifat termasuk kedalam persoalan cabang (furu`). Banyaknya kesalahan para Imam Ahlussunnah dalam perkara ini adalah bukti yang menunjukan hal tersebut. Bahkan jika kita memperhatikan ketergelinciran Imam Abu Hanifah, Imam Nawawi asy-Syafi`i dan kebanyakan ulama pada masa mihnah di zaman Imam Ahmad bin Hanbal, bolehjadi masalah ini adalah masa`il khafiyah (perkara yang samar/ tersembunyi).
[9] Yaitu bahwa Iman itu adalah perkataan dan perbuatan.
0 comments
Post a Comment
Mulailah berkomentar, untuk kemajuan blog idsmk bersama.
- Berkomentarlah dengan sopan dan bijak sesuai isi konten
- Dilarang meyisipkan link aktif, Link aktif otomatis akan terhapus dan kami anggap sebagai spam
Terimakasih