Kurikulum Berbasis Budaya
A. DEFINISI BUDAYA
Bangsa Indonesia, yang
dikategorikan sebagai bangsa yang tergolong besar di Dunia ini, tinggal dan
hidup dalam suatu wawasan Nusantara yang terdiri atas ribuan pulau besar dan
kecil;, dengan ragam adat Istiadat, cara hidup, nilai, bahasa dan kehidupan
spiritual yang berbeda-beda, namun berada dalam satu kesatuan Budaya.
Sebagai suatu bangsa,
Indonesia memiliki peradabannya sendiri. Peradaban yang bersumber dari kemajuan
dan perkembangan Kebudayaan dan difusi Kebudayaan dalam berbagai tahapan zaman.
Peradaban yang ada saat ini, sesungguhnya dimulai dari kebudayaan primitif di
zaman lampau dan melalui berbagai input kebudayaan yang sampai ke Indonesia,
telah menambah kekayaan kultural yang ada.
Budaya
adalah suatu kebenaran bahwa tidak ada manusia yang hidup bermasyarakat yang
tidak didasari oleh nilai-nilai budaya yang diakui masyarakat tersebut.
Nilai-nilai budaya tersebut dijadikan dasar dalam memberi makna terhadap suatu
konsep dan arti dalam komunikasi antar anggota masyarakat tersebut. Posisi
budaya yang demikian penting dalam kehidupan masyarakat mengharuskan budaya
menjadi sumber nilai-nilai dari pendidikan budaya dan karakter bangsa.
B. HAKIKAT BUDAYA
DALAM PENDIDIKAN
Pada hakekatnya, pendidikan
merupakan proses budaya. Dhojar (1999) mengatakan pendidikan sebagai proses
budaya bertujuan menyiapkan masyarakat mampu memasuki kehidupan pada zamannya.
Peserta didik disosialisasikan dengan nilai – nilai budaya yang berlaku dalam
tatanan kehidupan pada zamannya itu. Oleh karena itu pendidikan berlaku bagi
semua orang dan terjadi sepanjang masa. Apa implikasi atas pernyataan tersebut,
terutama dalam konteks pengembangan kurikulumnya? Mengacu pada pandangan bahwa
kurikulum merupakan jantungnya pendidikan maka semestinya kurikulumya perlu
dikembangkan atas dasar nilai – nilai luhur bangsa yang telah disepakati dan
berkembang dimasyarakatnya.
C.
BUDAYA DALAM PEMBENTUKAN KARAKTER BANGSA
Istilah karakter merujuk pada ciri
khas, perilaku khas seseorang atau kelompok, kekuatan moral, atau reputasi.
Dengan demikian, karakter adalah evaluasi terhadap kualitas moral individu atau
berbagai atribut termasuk keberadaan kurangnya kebajikan seperti integritas,
keberanian, ketabahan, kejujuran dan kesetiaan, perilaku atau kebiasaan yang
baik. Ketika seseorang me miliki
karakter moral, hal inilah yang membedakan kualitas individu yang satu
dibandingkan dari yang lain (Wood, 2009).
Karakter juga dipahami sebagai
seperangkat ciri perilaku yang melekat pada diri seseorang yang menggambarkan
tentang keberadaan dirinya kepada orang lain. Penggambaran itu tercermin dalam
prilaku ketika melaksanakan berbagai aktivitas apakah secara efektif
melaksanakan dengan jujur atau sebaliknya, apakah dapat mematuhi hukum yang
berlaku atau tidak (Kurtus, 2009). Walaupun prilaku sering dihubungkan dengan
kebribadian, tetapi kedua kata ini mengandung makna yang berbeda. Kepribadian
pada dasarnya merupakan sifat bawaan, sedangkan karakter terdiri atas
prilaku-prilaku yang diperoleh dari hasil belajar. Merujuk pada pendapat Wood
dan kurtus bahwa konsep pendidikan karakter adalah proses pendidikan yang
bertujuan menciptakan peserta didik yang berkarakter, artinya menciptakan
generasi yang cerdas., berbudi pekerti luhur, agamis dan selalu menjunjung
tinggi nilai – nilai budaya bangsa dalam kehidupan sehari –hari. Konsep tersebut menjadi tantangan
bagi para pendidik untuk dapat diimplementasikan dalam setiap materi pelajaran
sehingga menjadi konsep dan tanggung jawab bersama yang bersifat integral sesuai
dengan amanat dari Undang – undang No 20 tahun 2003 tentang system pendidikan
nasional.
A. Pengertian Kurikulum Budaya dan
Karakter Bangsa
Sesuai
dengan Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional maka pendidikan
nasional berfungsi mengembangkan dan membentuk watak serta peradaban bangsa
yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan yang maha esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggungjawab (Pasal 3 UU Sisdiknas). Sedangkan budaya adalah nilai, moral,
norma dan keyakinan (belief), fikiran yang dianut oleh suatu masyarakat/bangsa
dan mendasari perilaku seseorang sebagai dirinya, anggota masyarakat, dan
warganegara. Budaya mengatur perilaku seseorang mengenai sesuatu yang dianggap
benar, baik, dan indah. Selanjutnya, karakter adalah watak yang terbentuk
dari nilai, moral, dan norma yang mendasari cara pandang, berfikir, sikap, dan
cara bertindak seseorang serta yang membedakan dirinya dari orang lainnya.
Karakter bangsa terwujud dari karakter seseorang yang menjadi anggota
masyarakat bangsa tersebut.
Kurikulum
budaya dan karakter bangsa adalah kurikulum yang mengembangkan
nilai-nilai budaya dan karakter pada diri peserta didik sehingga menjadi dasar
bagi mereka dalam berpikir, bersikap, bertindak dalam mengembangkan dirinya
sebagai individu, anggota masyarakat, dan warganegara. Nilai-nilai budaya dan
karakter bangsa yang dimiliki peserta didik tersebut menjadikan mereka sebagai
warganegara Indonesia yang memiliki kekhasan dibandingkan dengan bangsa-bangsa
lain.
Apa
yang dimaksud kurikulum berbasis budaya? Kurikulum berbasis budaya merupakan
sebuah kurikulum yang berorientasi pada penyiapan lulusan berbudaya. Berbudaya
berarti setiap individu mampu menampilkan perilaku yang sesuai dengan nilai –
nilai kemanusiaan yang berkembang dimasyarakat. Nilai – nilai kemanusiaan yang
berlaku dan diakaui masyarakat dijadikan acuan untuk menentukan materi, proses
dan system evaluasinya.
Dilihat dari ciri-cirinya, pertama
Kurikulum berbasis Budaya berorientasi pada pembentukan manusia berwatak,
beradab dan bermartabat, Kedua, materi pembelajarannya dikembangkan dari berbagai sumber, Ketiga, menekankan pada pembudayaan
segenap potensi peserta didik, Keempat, sistem penilaiannya menekankan dimensi proses dan hasil.
Jadi, Kurikulum
berbasis budaya dapat dipahami sebagai suatu bentuk inovasi kurikulum yang
ingin mengedepankan pengembangan segenap potensi peserta didik atas dasar
watak, peradaban, dan martabat. Kurikulum perlu dikaitkan dengan tatanan nilai
– nilai kemanusiaan yang berlaku dimasyarakat. Banyaknya materi pelajaran bukan
lagi merupakn prioritas utama pengembangannya, namun, yang lebih penting adalah
“Bagaimana mengembangkan dimensi- dimensi kurikulum yang mampu membuka
pengekangan – pengekangan yang menghalangi perkembangan potensi peserta didik“
(Tilaar, 1999).
Berdasarkan
uraian diatas,sesungguhnya kurikulum berbasis budaya dipandang relevan
diterapkan dalam sisdiknas kita. Ditinjau dari sisi filosofi, kurikulum
berbasis budaya sesuai dengan hakekat proses pendidikan yang pemanusiaan
peserta didik. Proses pendidikan merupakan proses pembudayaan peserta didik.
Dari sisi sosiologi,kurikulum berbasis budaya, sesungguhnya merupakan
desain kurikulum yang menyiapkan warga masyarakat yang menghargai nilai – nilai
budaya yang berkembang dimasyarakat. Lulusan suatu jenjang pendidikan
diharapkan tidak terasing dengan lingkungannya. Sedangkan ditinjau dari sisi psikologis,
kurikulum berbasis budaya mengutamakan perkembangan potensi peserta didik
yang manusiawi.
Pendekatan Budaya Dalam Pengembangan Pendidikan
Penggunaan pendekatan budaya untuk memecahkan masalah kemanusiaan
telah dilakukan sejak jaman Aristoteles ( Djohar, 1999 ). Dalam konteks
pemecahan masalah mutu pendidikan, pendekatan budaya dipandang relevan untuk
digunakan karena pendekatan struktural disinyalir mengalami banyak kegagalan.
Dengan pendekatan budaya diharapkan peningkatan mutu pendidikan menjadi sebuah
budaya yang berkembang dikalangan warga sekolah.
Tahap
– tahap dalam pengembangan kurikulum berbasis budaya
a.
Perencanaan
Kegiatan pokok yang perlu dilakukan pada tahap ini adalah merancang
dan memgembangkan silabus yang merupakan panduan penyelenggaraan kegiatan
pembelajaran. Prinsip – prinsip yang dipakai untuk mengembangkan silabus tak
bisa dilepaskan dari prinsip– prinsip pengembangan kurikulum pada umumnya. Hal
ini dikarenakan silabus merupakan salah satu produk kurikulum. Selanjutnya
apabila disepakati bahwa silabus merupakan salah satu produk kurikulum sebagai
pedoman tertulis, tentu membawa konsekuensi terhadap aspek – aspek yang
dikembangkan, artinya aspek – aspek yang ada dalam silabus haruslah merupakan
aspek – aspek yang terdapat dalam kurikulum. Beberapa aspek pokok yang perlu
ada dalam silabus sebagaimana aspek yang tercangkup dalam kurikulum berbasis
budaya adalah rumusan kompetensi, hasil belajar, indikator keberhasilan, materi
pembelajaran, kegiatan pembelajaran, evaluasi, alokasi waktu dan sumber bahan.
Nilai-nilai pendidikan budaya dan karakater bangsa
dikembangkan dalam setiap pokok bahasan dalam mata pelajaran. Nilai-nilai
tersebut dicantumkan dalam silabus. Pengembangan nilai-nilai tersebut dalam
silabus ditempuh melalui cara-cara berikut ini:
1.
mengkaji SK dan
KD untuk menentukan apakah nilai-nilai budaya dan karakter bangsa yang
tercantum di atas sudah tercakup didalamnya
2.
menggunakan
tabel yang memperlihatkan keterkaitan antara SK/KD dengan nilai dan indikator
3.
mengembangkan
nilai-nilai budaya dan karakter bangsa dalam tabel tersebut ke dalam silabus
mengembangkan RPP berdasarkan silabus yang sudah disusun.
b. Implementasi
Beauchamp
(1975 : 164 ) mengartikan implementasi kurikulum sebagai “ a process of
futting the curriculum to work”. Fullan ( Miller dan Seller, 1985 :246 )
mengartikan implementasi kurikulum sebagai “ The futting into practice of an
idea, prgram or set of activities which is new to the individual or
organization using it “. Berdasarkan atas dua pendapat tersebut,
sesungguhnya implementasi kurikulum merupakan suatu kegiatan yang bertujuan
untuk mewujudkan atau melaksanakan kurikulum (dalam arti rencana tertulis)
kedalam bentuk nyata dikelas, yaitu terjadinya proses transmisi dan
transformasi segenap pengalaman belajar kepada pesrta didik.
Ø Dua pola penerapan kurikulum
berbasis budaya
v Pertama, mengembangkan desain kurikulum (
silabus atau rancangan pelaksanaan pembelajaran ) dengan berwawasan budaya.
Artinya aspek – aspek kurikulum yang terkait dalam desain kurikulum
dikembangkan dengan mengacu pada wawasan budaya bangsa, misalnya : pengembangan
materi pembelajaran dikaitkan dengan nilai – nilai luhur yang berlaku
dimasyarakat. Konsekuensinya, implementasinya tentu menggunakan model – model
pembelajarn berbasis budaya.
v Kedua, menggunakan desain kurikulum
berbasis budaya dalam implementasi kurikulum yang sedang berjalan. Disini yang
perlu ditekankan adalah penggunaan model – model pembelajaran bebasis budaya
dalam kegiatan pembelajaran sehari – hari. Model – model pembelajaran berbasis
bdaya yang bisa digunakan adalah model pembelajaran pemecahan masalah, model
pembelajaran inkuiri, model pembelajaran kontektual dan model yang lainnya.
c.
Evaluasi
Evaluasi kurikulum berbasis budaya, sebagaimana yang berlaku
pada desain kurikulum lainnya bertujuan untuk mengetahui tentang kelayakan
kurikulum berbasis budaya, baik dalam bentuk rancangan, maupun hasil. Hasil
evaluasi digunakan untuk menetapkan nilai dan arti terhadap kurikulum berbasis
budaya yang sedang berjalan. Sasaran kegiatan evaluasi kurikulum berbasis
budaya, sesuai dengan tujuannya, meliputi : evaluasi terhhadap rancangan,
implementasi, dan hasil belajar. Pendekatan evaluasi yang digunakan bisa dalam
bentuk pendekatan kuantitatif dan atau kualitatif.
Evaluasi terhadap rancangan kurikulum ingin melihat kualitas
substansi dan format rancangan. Evaluasi terhadap substansi rancangan kurikulum
menitik beratkan pada aspek – aspek esensial rancangan kurikulum dan
keterkaitannya diantara aspek aspek evaluasi tersebut. Evaluasi terhadap
implementasi kurikulum berbasis budaya bertujuan untuk mengetahui kualitas
proses implementasi kurikulum ( kegiatan pembelajaran ) di sekolah (kelas dan
luar kelas). Fokus evaluasi diarahkan pada langkah – langkah pembelajarna dan
dinamika interaksi pendidik dengan peserta didik.
Penilaian pencapaian nilai-nilai budaya
dan karakter didasarkan pada indikator. Sebagai contoh, indikator untuk nilai jujur
di suatu semester dirumuskan dengan “mengatakan dengan sesungguhnya
perasaan dirinya mengenai apa yang dilihat/diamati/ dipelajari/dirasakan”
maka guru mengamati (melalui berbagai cara) apakah yang dikatakan seorang
peserta didik itu jujur mewakili perasaan dirinya. Mungkin saja peserta didik
menyatakan perasaannya itu secara lisan tetapi dapat juga dilakukan secara
tertulis atau bahkan dengan bahasa tubuh. Perasaan yang dinyatakan itu mungkin
saja memiliki gradasi dari perasaan yang tidak berbeda dengan perasaan umum
teman sekelasnya sampai bahkan kepada yang bertentangan dengan perasaan umum
teman sekelasnya.
Penilaian dilakukan secara terus
menerus, setiap saat guru berada di kelas atau di sekolah. Model yang dinamakan
anecdotal record (catatan yang dibuat guru ketika melihat adanya
perilaku yang berkenaan dengan nilai yang dikembangkan) selalu dapat digunakan
guru. Selain itu guru dapat pula memberikan tugas yang berisikan suatu
persoalan atau hal yang menuntut peserta didik mengemukakan posisi dirinya atau
kesesuaian/ketidaksesuaian sikap dirinya terhadap persoalan
tersebut. Sebagai contoh, peserta didik dimintakan sikapnya
terhadap upaya menolong pemalas, memberikan bantuan terhadap orang kikir, atau
hal-hal lain yang bersifat bukan kontroversial sampai kepada hal yang dapat
mengundang konflik pada dirinya.
0 comments
Post a Comment
Mulailah berkomentar, untuk kemajuan blog idsmk bersama.
- Berkomentarlah dengan sopan dan bijak sesuai isi konten
- Dilarang meyisipkan link aktif, Link aktif otomatis akan terhapus dan kami anggap sebagai spam
Terimakasih