KISAH MUALLAF ( Hj. Irene Handono ). Hj. Irene Handono adalah mantan biarawati dengan bekal bakat dan kecerdasan yang tinggi, beliau sudah sangat terkenal dimedia sejak lama, namun sedikit kisah yang saya tulis berikut (dari salah satu sumber di Youtube: Hj. Irene Handono Mantan Biarawati, insyaallah menambahkan (kokoh) iman sebagai seorang muslimin. mari kita teladani dan merenungkan kisah Hj. Irene Handono.
"Namaku Irene Handono. Aku dibesarkan dalam keluarga yang rilegius.
Ayah dan ibuku merupakan pemeluk Katholik yang taat. Sejak bayi aku
sudah dibaptis, dan sekolah seperti anak-anak lain. Aku juga mengikuti
kursus agama secara privat. Ketika remaja aku aktif di Organisasi
gereja.
Sejak masa kanak-kanak, aku sudah termotivasi
untuk masuk biara. Bagi orang Katholik, hidup membiara adalah hidup yang
paling mulia, karena pengabdian total seluruh hidupnya hanya kepada
Tuhan. Semakin aku besar, keinginan itu sedemikian kuatnya, sehingga
menjadi biarawati adalah tujuan satu-satunya dalam hidupku.
Kehidupanku
nyaris sempurna, aku terlahir dari keluarga yang kaya raya, kalau
diukur dari materi. Rumahku luasnya 1000 meter persegi. Bayangkan,
betapa besarnya. Kami berasal dari etnis Tionghoa. Ayaku adalah seorang
pengusaha terkenal di Surabaya, beliau merupakan salah satu donator
terbesar gereja di Indonesia. Aku anak kelima dan perempuan satu-satunya
dari lima bersaudara.
Aku amat bersyukur karena
dianugrahi banyak kelebihan. Selain materi, kecerdasanku cukup lumayan.
Prestasi akademikku selalu memuaskan. Aku pernah terpilih sebagai ketua
termuda pada salah satu organisasi gereja. Ketika remaja aku layaknya
remaja pada umumnya, punya banyak teman, aku dicintai oleh mereka,
bahkan aku menjadi faforit bagi kawan-kawanku.
Intinya,
masa mudaku kuhabiskan dengan penuh kesan, bermakna, dan indah. Namun
demikian aku tidak larut dalam semaraknya pergaulan muda-mudi, walalupun
semua fasilitas untuk hura-hura bahkan foya-foya ada. Keinginan untuk
menjadi biarawati tetap kuat. Ketika aku lulus SMU, aku memutuskan untuk
mengikuti panggilan Tuhan itu.
Tentu saja orang tuaku
terkejut. Berat bagi mereka untuk membiarkan anak gadisnya hidup
terpisah dengan mereka. Sebagai pemeluk Katholik yang taat, mereka
akhirnya mengikhlaskannya. Sebaliknya dengan kakak-kakaku, mereka justru
bangga punya adik yang masuk biarawati.
Tidak ada kesulitan
ketika aku melangkah ke biara, justru kemudahan yang kurasakan. Dari
banyak biarawati, hanya ada dua orang biara yang diberi tugas ganda.
Yaitu kuliah di biara dan kuliah di Instituit Filsafat Teologia, seperti
seminari yang merupakan pendidikan akhir pastur. Salah satu dari
biarawati yang diberi keistimewaan itu adalah saya.
Dalam
usia 19 tahun Aku harus menekuni dua pendidikan sekaligus, yaknip
endidikan di biara, dan di seminari, dimana aku mengambil Fakultas
Comparative Religion, Jurusan Islamologi.
Di tempat
inilah untuk pertama kali aku mengenal Islam. Di awal kuliah, dosen
memberi pengantar bahwa agama yang terbaik adalah agama kami sedangkan
agama lain itu tidak baik. Beliau mengatakan, Islam itu jelek. Di
Indonesia yang melarat itu siapa?, Yang bodoh siapa? Yang kumuh siapa?
Yang tinggal di bantaran sungai siapa? Yang kehilangan sandal setiap
hari jumat siapa? Yang berselisih paham tidak bisa bersatu itu siapa?
Yang jadi teroris siapa? Semua menunjuk pada Islam. Jadi Islam itu
jelek.
Aku mengatakan kesimpulan itu perlu diuji, kita lihat
negara-negara lain, Philiphina, Meksiko, Itali, Irlandia, negara-negara
yang mayoritas kristiani itu tak kalah amburadulnya. Aku juga
mencontohkan negara-negara penjajah seperti terbentuknya negara Amerika
dan Australia, sampai terbentuknya negara Yahudi Israel itu, mereka dari
dulu tidak punya wilayah, lalu merampok negara Palestina.
Jadi
tidak terbukti kalau Islam itu symbol keburukan. Aku jadi tertarik
mempelajari masalah ini. Solusinya, aku minta ijin kepada pastur untuk
mempelajari Islam dari sumbernya sendiri, yaitu al-Qur'an dan Hadits.
Usulan itu diterima, tapi dengan catatan, aku harus mencari kelemahan
Islam.
Ketika pertama kali memegang kitab suci
al-Qur'an, aku bingung. Kitab ini, mana yang depan, mana yang belakang,
mana atas mana bawah. Kemudian aku amati bentuk hurufnya, aku semakin
bingung. Bentuknya panjang-panjang, bulat-bulat, akhirnya aku ambil
jalan pintas, aku harus mempelajari dari terjemah.
Ketika aku
pelajari dari terjemahan, karena aku tak mengerti bahwa membaca al-Quran
dimulai dari kiri, aku justru terbalik dengan membukanya dari kanan.
Yang pertama kali aku pandang, adalah surat Al Ihlas.
Aku
membacanya, bagus surat al-Ikhlas ini, pujiku. Suara hatiku membenarkan
bahwa Allah itu Ahad, Allah itu satu, Allah tidak beranak, tidak
diperanakkan dan tidak sesuatu pun yang menyamai Dia. "Ini 'kok bagus,
dan bisa diterima!" pujiku lagi.
Pagi harinya, saat kuliah
Teologia, dosen saya mengatakan, bahwa Tuhan itu satu tapi pribadinya
tiga, yaitu Tuhan Bapak, Tuhan Putra dan Tuhan Roh Kudus. Tiga Tuhan
dalam satu, satu Tuhan dalam tiga, ini yang dinamakan trinitas, atau
tritunggal. Malamnya, ada yang mendorong diriku untuk mengaji lagi surat
al-Ihklas. "Allahhu ahad, ini yang benar," putusku pada akhirnya.
Maka
hari berikutnya terjadi dialog antara saya dan dosen-dosen saya. Aku
katakan, "Pastur (Pastur), saya belum paham hakekat Tuhan."
"Yang
mana yang Anda belum paham?" tanya Pastur. Dia maju ke papan tulis
sambil menggambar segitiga sama sisi, AB=BC=CA. Aku dijelaskan,
segitiganya satu, sisinya tiga, berarti tuhan itu satu tapi pribadinya
tiga. Tuhan Bapak sama kuasanya dengana Tuhan Putra sama dengan kuasanya
Tuhan Roh Kudus. Demikian Pastur menjelaskan.
"Kalau demikian,
suatu saat nanti kalau dunia ini sudah moderen, iptek semakin canggih,
Tuhan kalau hanya punya tiga pribadi, tidak akan mampu untuk mengelola
dunia ini. Harus ada penambahnya menjadi empat pribadi," tanyaku lebih
mendalam.
Dosen menjawab, "Tidak bisa!" Aku jawab bisa saja,
kemudian aku maju ke papan tulis. Saya gambar bujur sangkar. Kalau dosen
saya mengatakan Tuhan itu tiga dengan gambar segitiga sama sisi,
sekarang saya gambar bujur sangkar. Dengan demikian, bisa saja saya
simpulkan kalau tuhan itu pribadinya empat. Pastur bilang, tidak boleh.
Mengapa tidak boleh? Tanya saya semakin tak mengerti.
"Ini dogma,
yaitu aturan yang dibuat oleh para pemimpin gereja!" tegas Pastur. Aku
katakan, kalau aku belum paham dengan dogma itu bagaimana? "Ya terima
saja, telan saja. Kalau Anda ragu-ragu, hukumnya dosa!" tegas Pastur
mengakhiri.
Walau pun dijawab demikian, malam hari ada kekuatan
yang mendorong saya untuk kembali mempelajari surat al-Ikhlas. Ini terus
berkelanjutan, sampai akhirnya aku bertanya kepada Pastur, "Siapa yang
membuat mimbar, membuat kursi, meja?" Dia tidak mau jawab.
"Coba Anda jawab!" Pastur balik bertanya. Dia mulai curiga. Aku jawab, itu semua yang buat tukang kayu.
"Lalu
kenapa?" tanya Pastur lagi. "Menurut saya, semua barang itu walaupun
dibuat setahun lalu, sampai seratus tahun kemudian tetap kayu, tetap
meja, tetap kursi. Tidak ada satu pun yang membuat mereka berubah jadi
tukang kayu," saya mencoba menjelaskan.
"Apa maksud Anda?" Tanya
Pastur penasaran. Aku kemudian memaparkan, bahwa Tuhan menciptakan alam
semesta dan seluas isinya termasuk manusia. Dan manusia yang diciptakan
seratus tahun lalu sampai seratus tahun kemudian, sampai kiamat tetap
saja manusia, manusia tidak mampu mengubah dirinya menjadi Tuhan, dan
Tuhan tidak boleh dipersamakan dengan manusia.
Malamnya,
kembali kukaji surat al-Ikhlas. Hari berikutnya, aku bertanya kepada
Pastur, "Siapa yang melantik RW?" Saya ditertawakan. Mereka pikir, ini
'kok ada suster yang tidak tahu siapa yang melantik RW?
"Sebetulnya
saya tahu," ucapku. "Kalau Anda tahu, mengapa Anda Tanya? Coba
jelaskan!" tantang mereka. "Menurut saya, yang melantik RW itu pasti
eselon di atasnya, lurah atau kepala desa. Kalau sampai ada RW dilantik
RT jelas pelantikan itu tidak syah." "Apa maksud Anda?" Mereka semakin
tak mengerti.
Saya mencoba menguraikan, "Menurut pendapat saya,
Tuhan itu menciptakan alam semesta dan seluruh isinya termasuk manusia.
Manusia itu hakekatnya sebagai hamba Tuhan. Maka kalau ada manusia
melantik sesama manusia untuk menjadi Tuhan, jelas pelantikan itu tidak
syah."
Malam berikutnya, saya kembali mengkaji
surat al-Ikhlas. Kembali terjadi dialog-dialog, sampai akhirnya saya
bertanya mengenai sejarah gereja.
Menurut semua literratur yang
saya pelajari, dan kuliah yang saya terima, Yesus untuk pertama kali
disebut dengan sebutan Tuhan, dia dilantik menjadi Tuhan pada tahun 325
Masehi. Jadi, sebelum itu ia belum menjadi Tuhan, dan yang melantiknya
sebagai Tuhan adalah Kaisar Constantien kaisar romawi.
Pelantikannya
terjadi dalam sebuah conseni (konferensi atau muktamar) di kota Nizea.
Untuk pertama kali Yesus berpredikat sebagai Tuhan. Maka silahkan umat
kristen di seluruh dunia ini, silahkan mencari cukup satu ayat saja
dalam injil, baik Matius, Markus, Lukas, Yohanes, mana ada satu kalimat
Yesus yang mengatakan 'Aku Tuhanmu'? Tidak pernah ada.
Mereka
kaget sekali dan mengaggap saya sebagai biarawati yang kritis. Dan
sampai pada pertemuan berikutnya, dalam al-Quran yang saya pelajari,
ternyata saya tidak mampu menemukan kelemahan al-Qur'an. Bahkan, saya
yakin tidak ada manusia yang mampu.
Kebiasaan
mengkaji al-Qur'an tetap saya teruskan, sampai saya berkesimpulan bahwa
agama yang hak itu cuma satu, Islam. Subhanaallah.
Saya mengambil
keputusan besar, keluar dari biara. Itu melalui proses berbagai
pertimbangan dan perenungan yang dalam, termasuk melalui surat dan ayat.
Bahkan, saya sendiri mengenal sosok Maryam yang sesungguhnya dari
al-Qur'an surat Maryam. Padahal, dalam doktrin Katholik, Maryam menjadi
tempat yang sangat istimewa. Nyaris tidak ada doa tanpa melalui
perantaranya. Anehnya, tidak ada Injil Maryam.
Jadi saya keluar
dengan keyakinan bahwa Islam agama Allah. Tapi masih panjang, tidak hari
itu saya bersyahadat. Enam tahun kemudian aku baru mengucapkan dua
kalimah syahadat.
Selama enam tahun, saya bergelut untuk
mencari. Saya diterpa dengan berbagai macam persoalan, baik yang sedih,
senang, suka dan duka. Sedih, karena saya harus meninggalkan keluarga
saya. Reaksi dari orang tua tentu bingung bercampur sedih.
Sekeluarnya
dari biara, aku melanjutkan kuliah ke Universitas Atmajaya. Kemudian
aku menikah dengan orang Katholik. Harapanku dengan menikah adalah, aku
tidak lagi terusik oleh pencarian agama. Aku berpikir, kalau sudah
menikah, ya selesai!
Ternyata diskusi itu tetap berjalan,
apalagi suamiku adalah aktifis mahasiswa. Begitu pun dengan diriku, kami
kerap kali berdiskusi. Setiap kali kami diskusi, selalu berakhir dengan
pertengkaran, karena kalau aku mulai bicara tentang Islam, dia
menyudutkan. Padahal, aku tidak suka sesuatu dihujat tanpa alasan.
Ketika dia menyudutkan, aku akan membelanya, maka jurang pemisah itu
semakin membesar, sampai pada klimaksnya.
Aku berkesimpulan
kehidupan rumah tangga seperti ini, tidak bisa berlanjut, dan tidak
mungkin bertahan lama. Aku mulai belajar melalui ustadz. Aku mulai
mencari ustadz, karena sebelumnya aku hanya belajar Islam dari buku
semua. Alhamdulillah Allah mempertemuka saya dengan ustadz yang bagus,
diantaranya adalah Kyai Haji Misbah (alm.). Beliau ketua MUI Jawa Timur
periode yang lalu.
Aku beberapa kali berkonsultasi dan
mengemukakan niat untuk masuk Islam. Tiga kali ia menjawab dengan
jawaban yang sama, "Masuk Islam itu gampang, tapi apakah Anda sudah siap
dengan konsekwensinya?"
"Siap!" jawabku. "Apakah Anda tahu
konsekwensinya?" tanya beliau. "Pernikahan saya!" tegasku. Aku menyadari
keinginanku masuk Islam semakin kuat. "Kenapa dengan dengan perkawinan
Anda, mana yang Anda pilih?" Tanya beliau lagi. "Islam" jawabku tegas.
Akhirnya
rahmat Allah datang kepadaku. Aku kemudian mengucapkan dua kalimat
syahadat di depan beliau. Waktu itu tahun 1983, usiaku 26 tahun. Setelah
resmi memeluk Islam, aku mengurus perceraianku, karena suamiku tetap
pada agamanya. Pernikahanku telah berlangsung selama lima tahun, dan
telah dikaruniai tiga orang anak, satu perempuan dan dua laki-laki.
Alhamdulillah, saat mereka telah menjadi muslim dan muslimah.
Setelah
aku mengucapkan syahadat, aku tahu persis posisiku sebagai seorang
muslimah harus bagaimana. Satu hari sebelum ramadhan tahun dimana aku
berikrar, aku langsung melaksanakan shalat.
Pada saat
itulah, salah seorang kakak mencari saya. Rumah cukup besar. Banyak
kamar terdapat didalamnya. Kakakku berteriak mencariku. Ia kemudian
membuka kamarku. Ia terkejut, 'kok ada perempuan shalat? Ia piker ada
orang lain yang sedang shalat. Akhirnya ia menutup pintu.
Hari
berikutnya, kakakku yang lain kembali mencariku. Ia menyaksikan bahwa
yang sedang shalat itu aku. Selesai shalat, aku tidak mau lagi
menyembunyikan agama baruku yang selama ini kututupi. Kakakku terkejut
luar biasa. Ia tidak menyangka adiknya sendiri yang sedang shalat. Ia
tidak bisa bicara, hanya wajahnya seketika merah dan pucat. Sejak saat
itulah terjadi keretakan diantara kami.
Agama baruku yang
kupilih tak dapat diterima. Akhirnya aku meninggalkan rumah. Aku
mengontrak sebuah rumah sederhana di Kota Surabaya. Sebagai anak
perempuan satu-satunya, tentu ibuku tak mau kehilangan. Beliau tetap
datang menjenguk sesekali. Enam tahun kemudian ibu meninggal dunia.
Setelah ibu saya meninggal, tidak ada kontak lagi dengan ayah atau
anggota keluarga yang lain sampai sekarang.
Aku bukannya
tak mau berdakwah kepada keluargaku, khususnya ibuku. Walaupun ibu tidak
senang, ketegangan-ketegangan akhirnya terjadi terus. Islam, baginya
identik dengan hal-hal negatif yang saya contohkan di atas. Pendapat ibu
sudah terpola, apalagi usia ibu sudah lanjut.
Tahun
1992 aku menunaikan rukun Islam yang kelima. Alhamdulillah aku
diberikan rejeki sehingga bisa menunaikan ibadah haji. Selama masuk
Islam sampai pergi haji, aku selalu menggerutu kepada Allah, "kalau
Engkau, ya Allah, menakdirkanku menjadi seorang yang mukminah, mengapa
Engkau tidak menakdirkan saya menjadi anak orang Islam, punya bapak
Islam, dan ibu orang Islam, sama seperti saudara-saudaraku muslim yang
kebanyakan itu. Dengan begitu, saya tidak perlu banyak penderitan.
Mengapa jalan hidup saya harus berliku-liku seperti ini?" ungkapku
sedikit kesal.
Di Masjidil-Haram, aku bersungkur mohon
ampun, dilanjutkan dengan sujud syukur. Alhamdulillah aku mendapat
petunjuk dengan perjalan hidupku seperti ini. Aku merasakan nikmat iman
dan nikmat Islam. Padahal, orang Islam yang sudah Islam tujuh turunan
belum tentu mengerti nikmat iman dan Islam.
Islam adalah
agama hidayah, agama hak. Islam agama yang sesuai dengan fitrah manusia.
Manusia itu oleh Allah diberi akal, budi, diberi emosi, rasio. Agama
Islam adalh agama untuk orang yang berakal, semakin dalam daya analisis
kita, insya Allah, Allah akan memberi. Firman Allah, "Apakah sama orang
yang tahu dan tidak tahu?"
Sepulang haji, hatiku semakin
terbuka dengan Islam, atas kehendak-Nya pula aku kemudian diberi
kemudahan dalam belajar agama tauhid ini. Alhamdulillah tidak banyak
kesulitan bagiku untuk belajar membaca kitab-kitab.
Allah
memberi kekuatan kepadaku untuk bicara dan berdakwah. Aku begitu lancar
dan banyak diundang untuk berceramah. Tak hanya di Surabaya, aku kerap
kali iundang berdakwah di Jakarta. Begitu banyak yang Allah karuniakan
kepadaku, termasuk jodoh, melalui pertemuan yang Islami, aku dilamar
seorang ulama. Beliau adalah Masruchin Yusufi, duda lima anak yang
isterinya telah meninggal dunia. Kini kami berdua sama-sama aktif
berdakwah sampai ke pelosok desa. Terjun di bidang dakwah tantangannya
luar biasa. Alhamdulillah, dalam diri ini terus menekankan bahwa
hidupku, matiku hanya karena Allah".
Alhamdulilllah. semoga dari kisah diatas kita semua bisa menambah iman dan takwah. amin.
referensi: Youtube: Hj. Irene Handono Mantan Biarawati
Wikipedia: Hj. Irene Handono.
sangat menyentuh... :')
ReplyDelete